Sabtu, 09 Februari 2013

Tentang Otonomi Perguruan Tinggi(BI-01-SS-12)


CUKUP menarik membaca tulisan Saudara Sukemi yang berjudul Minta, tapi Takut Otonomi PT (Jawa Pos, 10 Juli 2012). Beliau menulis dilema otonomi bagi perguruan tinggi (PT) dan urgensi disahkannya RUU Pendidikan Tinggi. RUU yang sedang digarap DPR dan pemerintah/Kemendikbud tersebut memang sepatutnya didukung penuh sebagai visi pengelolaan pendidikan tinggi ke depan. Namun, banyak konsep yang dikemukakan penulis tersebut yang perlu diluruskan, karena misleading dalam memahami konsep otonomi, khususnya bagi perguruan tinggi (PT) yang berstatus badan hukum milik negara (BHMN). Bahkan, tidak tepat dalam menyebut landasan yuridis PT BHMN.

Pertama, hakikat otonomi PT sama sekali tidak berkaitan dengan kewenangan yang sewenang-wenang bagi PT untuk menetapkan biaya kuliah. Hakikat otonomi PT adalah keseluruhan kemampuan institusi untuk mencapai misinya dalam mencerdaskan bangsa berdasar pilihannya sendiri. Otonomi bukan berarti kebebasan tanpa aturan, seperti yang tersirat dipahami oleh Saudara Sukemi.

Dalam piagam Magna Charta Universitatum yang ditandatangani di Universitas Bologna, dipahami bahwa universitas adalah institusi dalam masyarakat yang harus dikelola secara khusus karena menghasilkan dan menguji ilmu pengetahuan berdasar riset dan pengajaran. Karena itu, PT harus otonom, baik secara intelektual maupun secara moral, bebas dari kooptasi otoritas negara dan kekuasaan ekonomi.

Tapi, pada sisi lain, menurut piagam itu, otonomi membutuhkan kesempurnaan dalam bidang akademik, tata kelola, dan manajemen keuangan. PT yang otonom dipersyaratkan memiliki kepastian tentang good university governance (tata kelola universitas yang baik). Akuntabilitas yang berupa transparansi dan checks and balances harus menjadi jiwa dalam tata kelola.

Otonomi tidak memiliki konsep akan kebebasan para pemimpinnya untuk menentukan kebijakan yang tanpa aturan, terutama dalam menetapkan besaran biaya operasional pendidikan yang diambil dari para orang tua peserta didik. Penyimpangan kebijakan pemimpin PT dalam mengambil kebijakan yang menyebabkan mahalnya biaya kuliah bukan disebabkan adanya otonomi, tapi dari kebijakan setiap PTN, baik BHMN maupun non-BHMN.

Kedua, masalah mahalnya biaya kuliah. Saudara Sukemi menulis bahwa PT BHMN telah menyebabkan biaya kuliah mahal. Kemahalan biaya pendidikan di PTN bukan karena faktor status BHMN. Banyak PTN yang non-BHMN, tapi biaya kuliahnya jauh lebih mahal daripada biaya kuliah di, misalnya, Unair sebagai BHMN. Di Unair, 60 persen mahasiswa adalah melalui jalur SNM PTN dan biaya kuliah (SPP) bagi mahasiswa jalur SNM PTN paling tinggi hanya Rp 1.250.000 per semester. Kemudian, 20 persen di antaranya bebas biaya pendidikan sama sekali karena ditanggung oleh negara dan universitas.

Memang ada BHMN tertentu yang memungut biaya cukup tinggi, tapi tidak sedikit PTN non-BHMN melakukan hal yang sama. Demikian pula tidak sedikit BHMN yang berbiaya murah, seperti di Unair, dan banyak pula PTN yang bukan BHMN yang berbiaya kuliah murah. Jadi, mahal tidaknya biaya kuliah sama sekali tidak berkait dengan status BHMN atau bukan.

Kemahalan biaya kuliah di beberapa PTN dan BHMN disebabkan keterbatasan kemampuan pemerintah menyediakan dana pendidikan. Jika pemerintah memiliki kemampuan yang penuh untuk membiayai pendidikan, khususnya di semua PTN non-BHMN dan PTN BHMN, biaya kuliah akan ditekan semurah mungkin, bahkan bisa bebas.

Ketiga, tentang landasan yuridis. Saudara Sukemi menyebut-nyebut UU PT BHMN. Mahkamah Konstitusi (MK) tidak pernah membatalkan UU PT BHMN, sebab tidak pernah ada. Yang pernah dibatalkan MK adalah UU BHP (badan hukum pendidikan). BHP dengan BHMN jelas sangat berbeda, baik objek maupun subjeknya. BHP merupakan badan hukum yang diberlakukan terhadap semua penyelenggara pendidikan, baik swasta maupun negeri, mulai tingkat SD sampai tingkat PT. Sedangkan BHMN hanya salah satu jenis PTN sebagai penyelenggara pendidikan tinggi.

Eksistensi BHMN sebagai salah satu penyelenggara pendidikan tinggi masih valid, baik secara de jure maupun de facto. Secara de jure, peraturan pemerintah yang melahirkan tujuh BHMN sampai saat ini masih berlaku dan tidak pernah dicabut. Lahirnya PP 66 Tahun 2010 tidak mutatis mutandis menggugurkan figur hukum BHMN. PP 66 Tahun 2010 masih memberikan waktu untuk penyesuaian dalam beberapa hal hingga akhir 2013. Demikian pula secara de facto, tata kelola BHMN masih eksis dan diakui pemerintah. Kasus kisruhnya eksistensi BHMN di UI selesai dengan cara mengembalikan UI sebagai BHMN dengan segenap tata kelolanya. Bahkan, di UGM pun pemilihan rektor yang baru dilantik Juni lalu masih menggunakan tata kelola BHMN.

Meski demikian, pada sisi lain saya sependapat dengan Saudara Sukemi tentang perlunya skema yang visioner dalam pendanaan dari negara untuk PT. Misalnya dalam bentuk bantuan operasional (BO) bagi PTN. Jelasnya skema pembiayaan PT diharapkan memperlebar aksesabilitas masyarakat yang kurang mampu dari segi ekonomis tapi cukup mampu dari segi akademis. Lahirnya UU Pendidikan Tinggi nanti diharapkan mampu mengurangi distorsi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pimpinan PT yang tidak hanya pada PT BHMN, tapi juga PTN non-BHMN. Karena itu, patut kita dorong dan kita songsong disahkannya UU Pendidikan Tinggi tersebut.
 

Sumber :  http://m.inilah.com/read/detail/1918150/uu-no-122012-harapan-otonomi-perguruan-tinggi

Mobil listrik dari sudut pandang ekonomi (BI-01-SS-12)


Mobil listrik sepertinya akan muncul menjadi salah satu produk yang paling transformasional di masa kini, sama pentingnya seperti Personal Computer (PC) dan internet. Dampaknya terhadap industri otomotif pada aspek ekonomi secara kesuluruhan dari komersialisasi secara masal dari mobil listrik akan mengubah secara mendasar tidak hanya pada industri otomotif saja, tetapi pada industri perminyakan, pembangkit listrik dan distribusi, baja, material non logam dan kimia. Dengan berkurangnya ketergantungan dunia terhadap minyak bumi, mobil listrik akan mengubah struktur perdagangan global. Dampak penting lainnya, karena mobil listrik memiliki nol emisi, maka akan mengundang perdebatan ulang tentang pemanasan global.
Tidaklah mengherankan ketika para pengamat dan analis berdebat secara bersemangat tentang siapa yang akan memenangkan perlombaan akbar mobil hijau. Hal yang membuat perlombaan menarik khususnya adalah fakta bahwa suatu mobil listrik sepenuhnya akan menjadi produk baru pertama yang besar, dimana mulai dari awal, para kontestan termasuk perusahaan tidak hanya dari negara maju tetapi juga dari negara berkembang. PC, ponsel dan internet ditemukan dan diluncurkan di negara barat.Hanya masalah waktu ketika kemudian perusahaan Asia seperti Lenovo, Bharti Airtel dan Alibaba memasuki pasar tersebut.
Tetapi saat ini, perusahaan Asia ada diantara para pemimpin dalam perlombaan mobil listrik.Perusahaan Cina BYD contohnya menetapkan untuk meluncurkan mobil listrik sepenuhnya model E3 dan E6 di tahun ini dan mengumumkan rencana untuk membawa model E6 ke Amerika di tahun 2010. Mitsubishi Motor Jepang telah meluncurkan mobil listriknya model i MiEV. Carlos Ghosn, bos dari produsen otomotif Jepang lainnya, Nissan, melakukan aliansi dengan Renault, salah satu perintis awal di mobil listrik. Tata Motors India telah mengumumkan bahwa mereka akan memperkenalkan mobil listriknya Indica Vista EV di Norwegia tahun ini.
Dalam memprediksi masa depan dari industri yang akan berkembang ini, adalah penting untuk membatasi secara kritis terhadap dua asumsi yang bisa menyesatkan:
1. Kepemimpinan dalam teknologi baterai akan menjadi penentu utama terhadap siapa yang akan muncul sebagai pemimpin dari pembuat mobil listrik masa depan.
2. Menjadi perusahaan pertama yang meluncurkan mobil listrik akan menghadirkan keunggulan strategik yang penting sebagai perintis.

Nasib Sekolah RSBI Pasca Putusan MK(BI-01-SS-12)


Sebetulnya penulis termasuk yang tidak setuju dengan keberadaan sekolah RSBI, nuansa dikriminasi sangat terasa kental apalagi dari sudut pandang masyarakat kelas bawah.Bagi penulis konsep sekolah RSBI ini justru membuat kebijakan pemerintah semakin jauh dari nilai-nilai yang diamanatkan oleh UUD 45, bagaimana tidak sekolah RSBI hanya diperuntukkan bagi sebagian besar mereka saja yang bisa membayar mahal.
Fasilitas dan dana yang digelontorkan pemerintah memang sangat jauh berbeda dengan sekolah non RSBI dan ditambah dengan pungutan SPP dari para siswa, dan hal inilah yang menyebabkan hanya orang berada saja yang mampu sekolah di RSBI. Bukankah harusnya pemerintah itu bertanggung jawab untuk membuka pintu sekolah bagi semua kalangan masyarakat dengan fasilitas dan kualitas yang sama. Bahkan konon katanya pendapatan guru RSBI lebih tinggi dari pada mereka para guru yang mengabdi di sekolah non RSBI.Sepertinya pemerintah sengaja membuat kasta diantara para guru di negeri ini.
Harapan penulis jangan sampai di negeri yang kita cintai bersama ini, ternyata hanya diperuntukan bagi mereka orang borjuis saja sedangkan orang miskin diharapkan tidak boleh sakit dan tidak boleh sekolah.Kalau toh mereka memaksa untuk mendapatkan fasilitas jangan sampai pemerintah hanya memberikan fasilitas kelas kambing saja. Sekolah RSBI pastinya hanya dikota-kota besar saja, karena sekolah tersebut menuntut fasilitas yang lebih bagus dan lengkap, kalau begitu terus kapan pemerintah mengelontorkan dana dan konsentrasinya untuk membangun sekolah-sekolah di pinggiran, di ujung negeri dan di daerah-daerah perbatasan. Akankah saudara-saudara kita di daerah tersebut hanya menonton yang namanya pembangunan Negara besar Kesatuan Republik Indonesia.Semoga saja tidak, hanya menunggu waktu saja…katanya.
Cara berpikir kita harus diubah, kalau pembangunan itu hak seluruh masyarakat Indonesia. Dan kita lihat sekarang ini sudah ada satu-dua daerah di negeri ini yang membebaskan biaya sekolah dari SD sampai dengan SMA, tetapi anehnya pemerintah menurut penulis justru kurang cepat  untuk mendorong atau bahkan menambah sekolah-sekolah gratis di nusantara ini. Bahkan terkesan justru ingin menambah sekolah-sekolah berkualitas dan mahal. Coba simak dan renungkan cuplikan dari pernyataan Dirjen Dikdas Suyanto yang dimuat dalam JPNN.com sebagai berikut:
Yang mengatakan, sekolah bekas RSBI tidak perlu khawatir kekurangan dana. Dia mengatakan jika sumbangan orangtua siswa bakal terus mengalir.“Orang tua pasti tidak sulit membantu. Apalagi tahu kualitas RSBI selama ini seperti apa,” kata dia.
Lho kok pemerintah malah ingin disumbang (Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan), harusnya pemerintah bertanggung jawab membiayai pendidikan bagi seluruh rakyatnya.Ya mungkin ada alasan klasik negara kita tidak punya cukup duit, mungkin karena utangnya belum lunas. Silahkan bagi pembaca untuk menginterprestasikan opini penulis tadi, lain daripada itu yang penting mari kita bersama-sama membangun negeri ini untuk kita dan anak cucu nanti.

Banjir Dari Asepk Ekonomi(BI-01-SS-12)


Banjir minggu yang lalu yang melanda dan sempat melumpuhkan Jakarta ada dampak ekonominya yang cukup luas.Dampaknya sampai terasa di Jawa Tengah.Industri tekstil di Pekalongan, misalnya, memasarkan hasil produksinya di, atau lewat, Jakarta. Sopir-sopir truck segan pergi ke Jakarta karena takut kendaraannya akan macet di Jakarta. Maka banjir ini pasti juga menaikkan harga sehingga mempengaruhi tingkat inflasi. Akan tetapi, dampak keseluruhannya kiranya tidak akan terlalu besar. Inflasi akan naik, mudah-mudahan kurang dari satu persen. Banjir juga tidak merusak, sampai menghancurkan, bangunan seperti gempa bumi (di Jogja).Banjir di Jakarta juga bukan musibah yang terus menerus. Tetapi, justru oleh karena ibu kota yang terkena, yakni tempat pemerintah dan lokasi pengambilan keputusan, maka pengaruh ekonominya juga akan luas.
Beberapa proyek untuk menghalau dampak buruk juga sempat dikemukakan di media massa, seperti pembuatan banjir kanal (timur dan barat), pembuatan ratusan situ di selatan Jakarta untuk menampung luapan air dari daerah Bogor dan Puncak. Jumlah biaya proyek-proyek demikian sampai trilyunan rupiah, sehingga pelaksanaannya belum bisa dipastikan sekarang, karena keperluan pembangunan ekonomi dan sosial yang juga mendesak (dan sifatnya terus menerus) cukup banyak, seperti di bidang kesehatan, pendidikan dan pembangunan infrastruktur desa. Tetapi, “trauma” dari pengalaman banjir yang baru lalu ini pasti juga menambah desakan atau urgensi sehingga “cicilan” pengeluaran akan diperbesar di waktu yang dekat.
Tetapi, sikap “business as usual” bisa juga menjangkiti para pengambil keputusan.Maklumlah, banjir adalah gejala musiman yang setiap tahun kembali di bulan Januari atau Februari, sehingga penduduk dianggap sudah terbiasa. Banjir besar seperti yang baru lalu ini juga hanya terjadi sekali lima tahun. Maka bisa juga “diputuskan” untuk tidak mengeluarkan uang sampai trilyunan, dan uang itu lebih baik dipakai untuk memperbaiki keadaan kesehatan dan pendidikan, serta memperbaiki infrastruktur kampung. Anggaran tambahan yang tidak terlalu besar bisa digunakan untuk memperbaiki selokan-selokan dan sistim drainage kota sehingga genangan air tidak terjadi terlalu lama.
Kalau keperluan tambahan anggaran demikian tokh masih besar maka bisa dipertimbangkan untuk menaikkan pajak.Karena tujuannya adalah memperbaiki keadaan di Jakarta, sehingga tidak bisa disebut proyek nasional, maka pajak demikian harus dikenakan kepada penduduk Jakarta saja.Pajak bisa berupa pajak pendapatan atau pajak atas kekayaan atau harta benda.Yang paling cocok adalah pajak PBB, atas tanah dan bangunan, karena penanggulangan banjir lebih terkait kepada (nilai) tanah dan bangunan.
Karena banjir besar yang lalu sempat mengganggu kehidupan normal penduduk dan penguasa di Jakarta maka bisa menimbulkan suasana “krisis”, yakni sesuatu yang mengancam kehidupan normal. Suasana krisis bisa mempunyai berkah, ia bisa membuka mata lebih lebar dan membuat orang lebih bersedia untuk mengurangi kenyamanan yang biasanya ia nikmati. Suasana atau alam fikiran demikian bisa dipergunakan untuk mendorong tercapainya suatu keputusan yang sampai sekarang terkatung-katung.Hal demikian mungkin penting bagi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang sering dilihat ragu-ragu.
Di lain fihak, kita jangan lupa bahwa banjir besar yang lalu menimpa (hanya) Jakarta. Maka pemerintahan Jakarta yang lebih banyak dilanda “krisis” ini. Tetapi, akibat jelek banir di Jakarta tidak bisa diselesaikan oleh pemerintah di DKI saja, akan tetapi memerlukan dukungan dari daerah-daerah sekelilingnya, seperti Depok, Bogor, Tanggerang dan Bekasi. Maka Pemerintah Pusat juga harus turun tangan.Kesempatan demikian bisa dipergunakan untuk menyelesaikan salah suatu kesulitan yang dihadapi pelaksanaan otonomi daerah.Pembagian wewenang antara Pemerintah Pusat, Gubernur dan Bupati sering masih rancu. Kalau bisa diselesaikan untuk DKI maka mungkin bisa dibuat contoh untuk lain tempat.
Banjir di Jakarta ini pasti akan menaikkan tingkat inflasi, walaupun mudah-mudahan hanya sedikit. Dampaknya hanya seketika (once over), akan tetapi sesudah itu masih ada keperluan pengeluaran yang banyak untuk membiayai pemulihan ekonomi. Dalam hal ini sistim perbankan harus lebih banyak menyumbang daripada pemerintah pusat lewat anggaran belanjanya.Maka Bank Indonesia harus memperhitungkan ini.
Kalau inflasi meningkat maka bisa dibilang tidak adil, karena orang di Sulawesi dan Sumatra harus ikut menanggung beban untuk meringankan derita penduduk di Jawa.Akan tetapi begitulah konsekuensi punya NKRI.
Rabu, 14 Pebruari 2007 (Untuk Business News, Senin 12 Februari 2007)